"During my lifetime I have dedicated myself to this struggle of the African people. I have fought against white domination, and I have fought against black domination. I have cherished the ideal of a democratic and free society in which all persons live together in harmony and with equal opportunities. It is an ideal which I hope to live for and to achieve. But if needs be, it is an ideal for which I am prepared to die."......,NELSON MANDELA

Wednesday, December 29, 2010

RAKYAT BERSUARA.. BANGSA PENUH BERHARAP DI 2011

Betapa letih kondisi rakyat Indonesia yang telah diombang ambingkan dengan gelombang perubahan kekuasaan sejak 1998. Demikian lahirlah "reformasi" yang menggeser era "Orde Baru". Disamping rentetan bencana alam yang sejak 2004 selalu merobek keheningan rakyat. Dimana kemapanan ekonomi kian tak tercapai, kian menyulitkan. Lebih tepatnya yang kaya makin setambah kaya. Sedang yang miskin makin tidak punya masa depan. Belum lagi media yang bertubi-tubi menghalau kebobrokan martabat dan integritas para pelaku politik dan penguasa. Orientasi bangsa sekali lagi kian membingungkan.

Dalam keadaan terjepitpun rakyat tidak minta perlindungan kepada siapapun, karena rakyat akan bisa mengakhiri segala ketidak setujuan tersebut dengan cara "populis". Seperti rakyat Perancis yang menyeret raja Louis XIV dan isterinya Marie Antoinette ke meja Guillotine dan kepala mereka dipenggal dihadapan rakyat, mengkahiri kekuasaan kerajaan yang tanpa batas.

Seperti kekuasaan Soeharto tumbang ditangan para mahasiswa yang mendesak reformasi ditegakan. Mereka yang berkuasa agar memiliki kemampuan bercermin pada sejarah. Rakyat tidak akan merengek-rengek karena kekuatan tenaga, hati nurani mereka sudah terkuras habis dengan perbaikan hidup yang tidak kunjung tiba.

Titik "kesabaran" biasanya tidak selalu dipacu untuk menggulingkan kekuasaan, atau sebaliknya dengan mudahnya ditunggangi oleh kekuasaan politik tertentu. Gerakan selalu memiliki nilai yang luhur untuk bangsa: menyusun kembali martabat dan ukuran "kemanusiaan" yang selama ini digilas oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Penentang populis menjadi homogen dan konsertasi (terpusatkan) meluas dan rata secara nasional.

Pada sisi lain, bila rakyat saat ini tidak bersuara bukan berarti rakyat tidak bekerja atau tidak mengamati perubahan pada titik-titik kekuasaan. Pengumpulan gerakan populis, perlu kekuatan atau saat merevitalisasi diri memang membutuhkan gugus generasi yang baru, lebih muda, lebih gigih, lebih kritis. Banyak orang mencerminkan kalau suporter Timnas lebih bermartabat daripada para wakil rakyat untuk hal-hal kepatuhan dan santun. Poupulis memang tidak banyak menuntut, sangat sederhana membuat hati mereka bahagia. Dalam keadaan kesulitanpun mereka tetap coba untuk tidak membebani yang lain.

Disinilah keseimbangan pada titik "luapan berontak", menjadi tanda tanya untuk orang-orang ahli analisa politik, bagaimana menggerakan rakyat untuk kepentingan agenda-agenda kekuatan politik. Tidak hanya mengeksploitasi luapan masa. Dilain sisi juga harus bisa menghapus, meredam kekecewaan atau kemiskinan yang secara struktural. Keseimbangan pada ambang pemberontakan tersebut selalu bekerja dan bergerak secara anonim. Para pahlawan yang gugur di Trisakti dan Semanggi mereka tidak menjual dirinya sebagai pahlawan. Bahkan keberadaan nama merekapun masih simpang siur dalam konteks sejarah moderen Indonesia.

Rakyat bersuara tanpa kata atau tanpa slogan politik. Inilah cermin yang perlu dicermati oleh para politikus. Agar suara mereka tidak disandra menjadi keuntungan mereka belaka. Sekalipun proses dan pendekatannya diberi lebel demokrasi. Bisakah bangsa ini juga berharap pada rakyatnya agar menentukan perjalanan sejarah yang tidak berdarah dan penuh kebijakan.



Monday, December 27, 2010

TIMNAS...TARIK NAFAS, KITA KALAH PADA BABAK 1

Secara objektif permainan Timnas tidak ada perpaduan diantara para pemain. Pertahanan yang masih tercerai berai. Lawan Timnas lebih mengadakan presing dan menyerang. Konklusi semetara kita kalah 3-0.

Coba kita lihat dimana yang harus kita tinjau dan pelajaran dari "euphoria". Hampir semua pemain politik, baik dari kubu SBY, Golkar dan bahkan institusi PSSI coba memetik keuntungan dari "euphoria" Timnas ke babak final. Selain dari pelaku politik dan para pejabat ada juga element yang ikut berperan membakar "euphoria" rakyat, yaitu media. Khususnya media elektronik. Bahkan ada disatu chanel tv mentayangkan Timnas hampir 15 kali dalam 1 hari tanpa adanya berita baru.

Bebearpa nara sumber di media elektronik mengungkapkan kalau "euphoria" Timnas memiliki potensi mempersatukan bangsa yang sempat beberapa tahun ini bermasalah. Asalkan bisa dikanalisasi ke arah yang positif. Semua para aktor bangsa sebaiknya segera memberikan arahan terhadap kesempatan pemersatu bangsa. Demikian juga kalau Timnas gagal memperoleh gelar juara.

Ada beberapa lapisan makna atas munculnya Timnas dimakna berbangsa (nasionalis), prestasi atas sport itu sendiri yang didambakan oleh segenap lapisan rkayat Indonesia. Dimana ada makna sosio kultural yang bisa berarti bagi bangsa: unsur kedisplinan, unsur pendidikan, mendukung lambang-lambang perjuangan identitas nasional dan berbangsa. Hanya saja "euphoria" ini akan pudar dan susah sekali dibangun bila kesejahteraan rakyat banyak juga tidak diwujudkan dikehdiupan sehari-hari. Berhubung sepak bola dengan kemenangan sekalipun akan memiliki batasan untuk bisa memajuka kemampuan ekonomi seluruh rakyat indonesia.

Kekalahan pada babak 1 lebih pantas untuk kita meredam keingnan yang bermuluk muluk, dan lebih menginjakan kaki diatas bumi pertiwi dengan segala kelemahan yang pantas diperbaiki.

Sampai tanggal 29 Desember mendatang, dimana kita berhadapan dengan cermin bangsa yang dewasa dan bertanggung jawab atas langkah sejarah yang ingin kita tempuh.




Wednesday, December 15, 2010

NASIONALIS DAN SEPAK BOLLA: BUDAYA MODERNITAS 1

Panggilan klub nasional dari Republik Indonesia memiliki julukan baru adalah Timnas ( Tim Nasional) dalam kelahiran sejarahnya dia pernah diberik julukan PSSI. Keberadaan nama Timnas memiliki perjalanan politik internal yang tersendiri. Hari ini, tanggal 16 Desember Timnas akan berhadapan dengan Filipina untuk menyelsaikan tugas nasionalnya menjadi pemenang di babak Semi-Final.

Beberapa rangkaian hadirnya Timnas ini dikehidupan bangsa tiba-tiba menjadi sorotan mediatik. Sekalipun telah mengalahkan Tahiland 2-1 dimana sebelumnya telah mengalahkan Laos 5-1.

Mengapa fenomena Timanas ini menjadi menarik perhatian bangsa hari ini. Coba kita bedah secara struktral:

Kontekstual
Diantara kejadian beberapa tahun terakhir ini baik dari malapetaka alam, baik Tsunami, Gempa, letusan gunung berapi dan banyak hal lain lagi yang telah melanda bangsa ini. Dilain pihak cuaca pertikaian politik dalam negri sama sekali tidak menyejukan kehidupan berbangsa. Baik mulai dari masalah korupsi hingga keberadaan Keistimewaan Jogyakarta yang akan mengurangi peranan Sultan pada pemerintahan modern. Diskusi para ahlipun mengingatkan agar tidak melupakan sejarah. Dilain pihak para ahli demkrasi juga menyuarakan agar kepimpinan itu lahir dari bawah dan terpilih langsung. Disinilah Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang menjalani "test and Proper", diuji baik dari kemampuan menjawab keunikan dan kesitimewaan dibawah UUD 45. Disamping tantangan mengatasi kehidupan sehari hari pada akhir tahun yang mendesak harga bahan pokok naik. Belum lagi masyarakat yang belum siap untuk dicabut keseluruhan subsidi.

Cermin dari Kerinduan Masyarakat
Sosiologue besar Nobert Elias pernah melakukan penelitian dimana penemuannya terhadap aktivitas "sport" adalah penyaluran "pelampiasan" atas kekerasan kolektif didalam masyarakat ke arah yang lebih kostruktif. Processus of of the Civilisation, dalam masyarakat Indonesia modern dimana sepak bola adalah salah satu bagian (composant) dari langkah Indonesia untuk tampil kepermukaan untuk diterima dalam masyarakat International.

Kemenangan dari Timnas adalah salah satu cermin kerinduan atas "pencapaian" keberhasilan. Walaupun belum mejadi pemenang akhir, tetapi prosesus "communion" kebersamaan, kesatuan (pemersatu) bangsa atas pencapaian keberhasilan yang demikian dirindukan. Lambang garuda yang menjadi "bagian" elemen penting dalam gelar pertandingan AFF Timnas. Nyanyian "garuda didadaku"...adalah lambang dari nasionalisme menjadi packaging modernitas, menyangkut lambang negara dan segala implikasi komersialnya. Harapan dan kerinduan rakyat atas kejayaan Indonesia demikian besar. Bisa kita lihat dari seluruh media masa yang meliput kehadiran penonton dari luar daerah yang bertekad berjuang untuk membeli tiket menonton di Senayan. Untuk sementara semua sedang membuat prediksi atas pertemuan Timnas dengan Filipina yang kedua kali nanti di hari Minggu.


 

©  THE ISLAND MAN