"During my lifetime I have dedicated myself to this struggle of the African people. I have fought against white domination, and I have fought against black domination. I have cherished the ideal of a democratic and free society in which all persons live together in harmony and with equal opportunities. It is an ideal which I hope to live for and to achieve. But if needs be, it is an ideal for which I am prepared to die."......,NELSON MANDELA

Monday, February 21, 2011

AUTORITAS NEGARA DIAMBANG UJI

Bertubi-tubi institusi penegak hukum memperoleh sederet masalah yang sangat tidak mudah untuk menunjukan kemampuannya menegakan keadilan sesuai dalam amanah konstitusi. Baik dari agenda pembrantasan korupsi, mengeluarkan kode etik bagi legislator (pembuat undang-undang) supaya tidak kerumah mesum, sampai menempatkan perkara Ahmadiyah hingga yang terakhir menggusur kekuatan Nurdin sebagai ketua PSSI juga tidak menemui jalan yang jitu. Belum pula perkara markus-markus dan karakter korupsi di negara ini meramaikan media yang tidak kunjung reda dan berakhir tanpa selalu berkekuatan hukum.

Para pengamat mengatakan secara politik segala sesuatu akan bermuara kepada autoritas pemerintah dan tentunya ke presiden. Kewibawaan politik presiden yang dipilih secara demokratis dan memenangkan suara lebih dari 60% tetapi tidak memiliki majoritas di parlem memang mendesak SBY untuk berulang kali mengadakan kalkulasi politik. Yang mana tidak selalu mencerminkan komitment politiknya pada waktu kampanye. Setelah hak angket dilewati, ada reshaful yang meletihkan untuk publik mengkuti dimana manfaatnya dan tidak mencerminkan sebuah stabilitas.

Ujian berdemokrasi lagi, dan pelaksanaan konstitusi adalah kasus Ahmadiyah. Baik dari modus operandi kejadian hingga terakhir beberapa gubernur dengan tekanan akhirnya tidak mengizinkan Ahmadiyah di daerahnya. Sedang menteri Djoko Suyanto telah mengatakan kalau Negara tidak mengatur tentang keyakinan.

Tulisan ini bukan mengulang apa yang telah ditumpahkan dalam media tentang keyakinan tidak bisa diatur oleh pemerintah, tetapi tetap saja pemerintah daerah yang melakukannya. Kali ini saya ingin bangkit dari kelelahan tentang inertia ide dan perjuangan atas "ideologi-ideologi" Pancasila. Bangkit dari orasi dan jargon politik diwarung kedai dengan gaya borjuasi para penguasa , baik dari DPR dan penegak hukum lainnya.

Tanpa pernah mendengar analisa dengan pendekatan struktural. Tidak pula melihat dengan perspecktif historis, kalau kaum minoritas selalu diperlakukan deskriminatif, padahal dilindungi oleh konstitusi. Sejarah perebutan kekuasaan yang menggunakan kedok agama pelan-pelan memperburuk NKRI dan hidup dalam kemajemukan. Sejarah para Wahabi di abad ke 6 perlu kita bedah dan dipertanyakan apakah gejala-gejala penumpasan kaum minoritas mulai merambah ke tanah air kita.

Sejarah penghasutan atau manipulasi melalui teror itu memang tumbuh sejak perang para pangeran di era Majapahit, Mataram dan melawan kolonial. Autoritas yang melemah di desak dan diuji pada setiap integritas ideologi berbangsa dan bernegara.
Mengapa rakyat (populis) belum bergerak atau melakukan perlawanan dengan gerakan budaya. Bukankah mereka semua sedang kelelahan melihat gejala pelemahan pemerintah yang mereka pilih. Disini peluang untuk agenda-agenda besar akan digelindingkan untuk melihat berapa kokohnya pemerintah ini. Apakah diam itu passive tak berdaya? Apakah menguji juga paham tentang demokrasi yang kita miliki?
 

©  THE ISLAND MAN